Arsip !

Tampilkan postingan dengan label Puisi Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi Esai. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Juli 2012

Puisi Denny J.A.


PUISI-PUISI ATAS NAMA CINTA
1.Sapu Tangan Fang Yin
/1/
Ditatapnya sekali lagi sapu tangan itu,
tak lagi putih; tiga belas tahun berlalu.
Korek api di tangan, siap membakarnya
menjadi abu masa lalu.
Namun, sebelum api menjilat, hatinya bergetar;
Ditiupnya api itu – terdiam ia dalam senyap malam.
Dibukanya jendela kamar: kelam langit Los Angeles
Yang dihuninya sejak 13 tahun lalu.
Terlintas ingatan minggu pertama di kamar ini
Ketika setiap malam ia menangis;
Ya, panggil saja ia Fang Yin – hamparan rumput harum artinya.
Nama sebenarnya dirahasiakan, menunggu sampai semua reda.
Waktu itu usianya dua puluh dua
Terpaksa kabur dari Indonesia, negeri kelahirannya
Setelah diperkosa segerombolan orang
Tahun 1998, dalam sebuah huru-hara.
Apa arti Indonesia bagiku? bisik Fang Yin kepada dirinya sendiri.
Ribuan keturunan Tionghoa1 meninggalkan Indonesia:
Setelah Mei yang legam, setelah Mei yang tanpa tatanan
Setelah Mei yang bergelimang kerusuhan.2
Description: http://puisi-esai.com/wp-content/uploads/2012/03/Puisi_1_1.jpg




/2/
Hari itu negeri berjalan tanpa pemerintah
Hukum ditelantarkan, huru-hara di mana-mana
Yang terdengar hanya teriakan
Kejar Cina! Bunuh Cina! Massa tak terkendalikan.
Langit menghitam oleh kobaran asap
Dari rumah-rumah dan pertokoan –
Semua terkesima, tak ada yang merasa siap
Melindungi diri sendiri dari keganasan.
Ada keluarga yang memilih bunuh diri
Di hadapan para penjarah yang matanya bagai api
Yang siap menerkam; yang siap merampas apa saja
Yang siap memperkosa perempuan tak berdaya.
Apa arti Indonesia bagiku? bisik Fang Yin
Kepada dirinya sendiri, yang hidupnya telah dirampas
Yang tak lagi bisa merasakan sejuknya angin
Sebab kebahagiaannya tinggal ampas.
Waktu itu terdengar anjing melolong panjang
Seperti minta tolong aparat keamanan;
Mereka melemparkan binatang itu ke kolam
Menggelepar-gelepar: airnya pun memerah.

/3/
Fang Yin sekeluarga mengungsi ke Amerika
Bersama sejumlah warga keturunan Tionghoa;
Mereka tinggal berdekatan di New York, Philadelphia,
Los Angeles, New Jersey – bagaikan perkampungan Indonesia.
Minggu-minggu pertama di Amerika
Fang Yin belum sadar apa sebenarnya yang terjadi
Raga dan jiwanya lemah, perlu pemulihan dari dahsyatnya trauma,
Ke mana pun ia pergi, orang tuanya dan seorang psikolog mendampingi.
Setelah tiga bulan hidupnya menjadi normal.
Ia pun ikut kursus bahasa Inggris, ingin meneruskan kuliah.
Namun Fang Yin sudah berubah –
Ia tak lagi ceria, suka menyendiri saja.
Ketika seorang pemuda Korea mendekatinya
Fang Yin malah menjauh, khawatir kalau-kalau tak berbeda
Dengan Kho, pacarnya dulu di Jakarta,
Yang meninggalkannya setelah tahu ia diperkosa.
13 tahun sudah ia di Amerika, tumbuh keinginannya
Untuk pulang ke tanah kelahirannya, Indonesia;
Waktu itu usianya menginjak tiga puluh lima
Ia ingin memulai hidup baru, membangun keluarga.
Ingin punya suami, ingin punya anak
Rindu kampung halaman tempat ia dilahirkan dan dibesarkan
Rindu teman-teman remaja, rindu masa-masa menghabiskan waktu
Jalan-jalan dan bercanda ria di Mal Citraland.
Tapi kemarahannya pada Indonesia masih menyala
Trauma diperkosa masih berujud horor baginya.
Fang Yin membatalkan niatnya untuk kembali
Baginya Indonesia masa silam yang kelam
Kenangan pada Kho membekas di benaknya.
Tak ia ketahui di mana kini pemuda itu berada.
Dibukanya secarik surat yang sejak 12 tahun lalu
Akan dikirimkannya ke pemuda itu, tapi selalu dibatalkannya.
Kho, apa kabarmu
Aku sendiri di sini
Dulu katamu akan menemaniku
Terutama di kala susah
Itu sebabnya kuterima cintamu
Aku sangat susah hati, Kho
Aku ingin dengar suaramu.
Ia sering coba menghubunginya lewat telepon
Tak pernah ada jawaban, bagai raib begitu saja.
Mungkin Kho juga mengungsi, tapi entah ke mana
Fang Yin tidak pernah tahu lagi tentangnya.
Satu-satunya kenangan dari Kho
Yang sampai sekarang masih disimpannya
Adalah selembar sapu tangan
Yang saat ini ia genggam erat-erat, merisaukannya.

/4/
Ingin ia bakar selembar kenangan itu
Saksi satu-satunya, sisa trauma masa lalu
Selama ini disimpannya diam-diam setangan itu
Tak ingin ada orang lain mengganggu.
Ditatapnya kembali sapu tangan itu
Ia sentuh permukaannya, masih terasa
Bekas air mata yang tetes demi tetes membasahinya dulu
Bagian abadi dari hidupnya.
Setahun lalu psikolognya, warga Amerika, bilang
Ia nyaris sembuh. Dan akan lengkap sembuhnya
Jika ia ikhlas menerima masa lalu yang telah hilang
Sebagai bagian dari permainan nasib manusia.
Kepada psikolog itu Fang Yin berhutang nyawa.
Beberapa kali perempuan itu nyaris bunuh diri
Tetapi karena ia menemaninya setiap hari
Jiwa anak keluarga kaya itu pun beranjak sembuh kembali.
Ia ulang-ulang mantra psikolog itu,
Ia coba pahami apa yang ada di balik kata-katanya:
Terimalah kenyataan apa adanya!
Berdamailah dengan masa lalu.
Di bulan ke empat, ia mulai rasakan khasiat
Masa lalu tidak lagi menjadi bom di kepala
Namun kenangan itu bagai tawon yang tak henti menyengat
Tidak dengan mudah minggat.
Description: http://puisi-esai.com/wp-content/uploads/2012/03/Puisi_1_2.jpg
/5/
Ditatapnya kembali sapu tangan itu:
Tampak tayangan sinema di permukaannya:
Tergambar rumahnya di Kapuk, Jakarta Utara
Sebuah bangunan yang tinggi temboknya.
Berjajar di samping rumah-rumah lain
Yang pagarnya seakan berlomba
Mana yang paling tinggi, mana yang paling kokoh.
Semua dihuni warga keturunan Tionghoa.3
Namun, tembok setinggi apa pun
Ternyata tak mampu mengamankannya
Tak mampu membendung gelombang huru-hara
Yang membakar Jakarta.
Hari itu Selasa 12 Mei 1998.
Fang Yin tidak kuliah, di rumah saja;
Ia hanya menonton televisi
Semuanya menyiarkan berita itu-itu juga.
Mimbar bebas di kampus-kampus
Unjuk rasa di mana-mana
Menuntut Soeharto turun
Dianggap tak mampu pulihkan ekonomi negara.
Perusahaan-perusahaan gulung tikar
Pengangguran merajalela
Harga barang-barang pokok melambung
Nilai rupiah semakin terpuruk.
Gerakan mahasiswa yang mula-mula hanya unjuk rasa
Gerakan Reformasi mula-mula namanya
Segera berubah menjadi gelombang besar demonstrasi
Tak bisa dibendung lagi.
Sore hari, Selasa 12 Mei
Di depan Universitas Trisakti
Empat mahasiswa tewas tertembak:
Malam pun mencekam, gejolak merebak.
Rabu 13 Mei 1998
Ribuan mahasiswa berkumpul
Di Universitas Trisakti
Duka cita berbaur teriakan kerumunan massa.
Tak diketahui dari mana rimbanya
Siang hari semakin dipenuhi massa
Dan, tiba-tiba saja, sekelompok orang
Membakar ban-ban bekas di tengah jalan.
Asap hitam pun membubung tinggi
Truk yang melintas dihentikan massa
Dan teriakan bergema, semakin liar:
Bakar! bakar!
Massa bagai kerumunan semut
Merangsek ke tengah-tengah kota
Turun dari truk-truk yang muncul tiba-tiba
Entah dari mana datangnya.
Teriakan pun berubah arahnya
Dan terdengar Bakar Cina! Bakar Cina!
Gerombolan yang tegap dan gagah
Menyisir toko, kantor, dan pemukiman Tionghoa.
Mereka memasuki rumah-rumah kaum sipit mata
Menyeret para penghuninya, menghajar para pria
Memperkosa perempuannya. Dan semakin siang
Semakin tak terbilang jumlahnya.
Ditemani seorang pembantu, Fang Yin menyaksikan
Adegan demi adegan horor itu di televisi. Ketakutan menyergapnya!
Ia telepon ayahnya di kantor, tak bisa pulang
Jalanan dipenuhi massa, tak terbilang.

/6/
Hantu yang ditakutinya pun menjelma –
Didengarnya suara-suara memekakkan telinga
Segerombolan orang merusak pagar rumahnya
Mereka masuk dan membunuh anjing herdernya.
Pembantunya sempat berteriak, lalu terkapar
Oleh para berandal itu ia dihajar.
Fang Yin lari mengunci diri di dalam kamar
Berteriak, melolong, meminta tolong.
Tak ada yang mendengar. Mungkin tetangganya
Juga tengah menghadapi ketakutan yang sama.
Pintu kamar Fang Yin didobrak, masuklah lima pria
Bertubuh tegap – ke ranjang mereka menyeretnya.
Rambutnya dijambak
Pakaiannya dikoyak-moyak
Dan dengan kasar
Mereka pun memukul, menampar.
Fang Yin pun menjerit, mohon ampun,
Jangan…Jangan…
Saya punya uang.
Ampun. Jangan.
Bagai sekawanan serigala mereka:
Seseorang memegang kaki kirinya
Seorang lagi merentang kaki kanannya
Yang lain menindih tubuhnya.
Wahai, terenggut sudah kehormatannya!
Yang lain bersiap menunggu giliran
Ganas seringainya, tak ada belas
Bagi seorang perawan.
Fang Yin meronta sebisa-bisanya
Berteriak sekuat-kuatnya
Bergerak-gerak mempertahankan kehormatannya
Memukul, menjambak sekenanya.
Di antara sakit dan cemas yang tiada taranya
Sempat didengarnya para berandal tertawa
Melahapnya: Hihihihi, hahahaha
Fang Yin pun kehilangan kesadarannya.
Description: http://puisi-esai.com/wp-content/uploads/2012/03/Puisi_1_3.jpg
/7/
Fang Yin, ya, Fang Yin yang malang –
Ketika dibukanya mata
Didapatinya dirinya terbaring
Di rumah sakit.
Saat itu Kho, pacarnya, datang menjenguk
Memberinya sapu tangan;
Fang Yin menghapus tetes air matanya –
Sapu tangan itulah yang setia menyertainya.
Tersimpan di sapu tangan itu tetes air matanya yang pertama
Tetes air matanya yang kedua
Tetes air matanya yang kesepuluh
Tetes air matanya yang keseribu
Tersimpan pula di sana malam-malamnya yang sepi
Ketika ia meminta Tuhan membuatnya mati saja
Ketika ia merasa diri lunglai, tak lagi bertulang
Sapu tangan itu merekam seperti buku diary.
Rina, sahabat dekatnya, membelainya
Yang menyertai Kho menjenguknya.
Rina sangat memahaminya,
Rina banyak membantunya.
Infus mengalir di sebelah tangannya
Ayah dan ibunya menangis memeluknya;
Fang Yin mengingat-ingat apa yang terjadi
Membayangkan apa yang telah dialami.
Memar tersebar di sekujur tubuh
Dan teringatlah: ia telah diperkosa!4
Fang Yin menjerit kuat sekali
Seisi rumah sakit mendengarnya,
Tolong…tolong…
Ampun, ya Tuhan
Tolong aku
Ampun, ampun…

/8/
Jakarta lautan api! Di mana pula aparat keamanan?
Tak tampak sama sekali.
Kerusuhan pun menjalar liar
Bagaikan api, bagaikan ular.
Warga Jakarta terkesima.
Begitu banyak orang-orang datang
Begitu saja, entah dari mana
Tak ada yang kenal mereka.
Didrop truk di lokasi tertentu
Mereka kekar dan tegap –
Mereka merusak, mereka membakar,
Mereka menjarah – dan massa pun terpancing.
Dan ketika kerumunan semakin banyak
Dan ketika tak ada lagi aturan yang tegak
Para penjarah meninggalkan lokasi –
Massa pun mengamuk tanpa sebab yang pasti.
Mereka berebut menjarah, saling mendahului
Tunggang-langgang, tindih-menindih terjebak api
Dalam bangunan yang menyala-nyala
Terpanggang hidup-hidup – dan tewas sia-sia.5

/9/
Fang Yin dan keluarga tidak paham politik
Apa lagi masalah militer.6
Mereka cari nafkah berdagang saja
Dan ketika bingung, tak tahu harus mengadu ke mana.
Bumi Indonesia gonjang-ganjing, langit berkilat-kilat
Sedangkan Presiden Soeharto berada di Mesir sana;
Situasi menjadi semakin parah
Menanti Sang Presiden kembali.
Tahun 1998, tanggal 15 Mei
Pukul 4.30 dini hari
Soeharto menyatakan tak bersedia mundur;
Ketegangan memuncak, ketenteraman pun hancur.
Warga Tionghoa yang mulai tenang
Kembali khawatir kalau huru-hara kembali datang;
Mereka jual barang-barang mereka, banting harga
Bersiap-siap hengkang ke mancanegara.
Di rumah sakit, Fang Yin masih terbaring lemah.
Ia menduga kerusuhan akan kembali terjadi
Dan orang-orang tegap yang brangasan
Akan memperkosanya lagi.
Papi, apa salah saya? Kenapa saya diperkosa?
Apa salah saya, Papi?
Ayahnya tak menjawab,
Dipeluknya anaknya erat-erat.
Kho, pacarnya, terdiam dan mulai dingin sikapnya.
Fang Yin menjerit-jerit –
Seorang guru spiritual coba menghentikannya
Mengajarkan keikhlasan Konghucu.
Disampaikannya hakikat shio;
Fang Yin adalah gadis Naga, dan 1998 adalah Macan –
Naga kurang beruntung di tahun itu
Dan harus menerima dengan dada terbuka.
Diuraikannya prinsip Ren Dao
Ajaran tentang hubungan antarmanusia;
Ya, sebuah kitab kecil, Kitab Meng Zi:
Dan dibacakannya,
Dengarkan:
Yang tidak susila jangan dilihat
Yang tidak susila jangan didengar
Yang tidak susila jangan dibicarakan.
Dengan penuh kasih dipegangnya kening Fang Yin
Ia tatap matanya, dialirkannya enerji,
Ditumbuhkannya semangat hidup,
Dan dengan tenang dikatakannya,
Fang Yin, Ini bencana sudah terjadi
Lupakan saja. Mulailah hidup baru –
Keikhlasan akan mengalahkan kemalangan
Keyakinan akan mengalahkan derita.
Di televisi rumah sakit, Fang Yin mendengar diskusi:
Dalam sejarah Indonesia, warga Tionghoa
Acap jadi korban amuk massa.7
Uhhhh… Fang Yin tidak paham sejarah.
Description: http://puisi-esai.com/wp-content/uploads/2012/03/Puisi_1_4.jpg

/10/
Demikianlah seminggu setelah peristiwa
Fang Yin dan keluarga terbang ke Amerika;
Bukan karena tidak cinta Indonesia, kata ayahnya,
Tetapi keadaanlah yang telah memaksa.
Ayah bercerita tentang kerabat kakek buyut mereka
Pejuang kemerdekaan, sahabat Bung Karno;
Sie Kok Liong namanya
Pemilik Gedung Kramat 106.
Di gedung itu dulu diselenggarakan Kongres Pemuda
Yang melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928;
Apa gerangan arti Indonesia bagi Fang Yin dan keluarganya?
Mereka harus hengkang demi keselamatan jiwa.

/11/
Kini 13 tahun setelah musibah itu
Fang Yin mendengar Indonesia sudah stabil kembali;
Beberapa warga keturunan Tionghoa menjadi menteri
Tradisi Imlek diberi hak hidup seperti dulu lagi.
Barongsai bebas melanggak-lenggok,
Koran berbahasa Cina sudah boleh beredar
Program berbahasa Cina ditayangkan di televisi.
Agama Konghucu sudah diakui.8
Komunitas Tionghoa Indonesia di manca negara
Kadang jumpa, berbagi cerita tentang Imlek dan segala rupa;
Sudah banyak yang ganti negeri
Menjadi warga Amerika, Singapura, dan lain-lainnya.
Tampaknya, bagi mereka Indonesia adalah masa silam
Yang kelam hitam;
Namun, Imlek masih tetap menyatukan mereka
Walau berbeda agama dan negara.
Ayah Fang Yin teguh pendirian
Pantang jadi warga negara lain;
Kepada Fang Yin ayahnya sering berpesan
Dan mewanti-wanti,
Fang Yin, kau anak Indonesia sejati
Jangan pindah menjadi warga lain negeri.
Ayahnya mendapatkan rezeki di Indonesia
Pada waktunya harus kembali ke sana.
Dan ia tentu saja marah ketika diketahuinya
Fang Yin sudah pindah warga negara;
Paspor Amerika Serikat sudah di tangannya,
Prosesnya dibantu oleh seorang pengacara.
Fang Yin banyak diberi tahu ayahnya tentang Indonesia
Agar tumbuh kembali cinta tanah airnya
Negeri yang sejak dulu mereka bela –
Sejak zaman pergerakan yang melibatkan buyutnya.
Fang Yin adalah gadis yang rajin membaca:
Perpustakaan menyediakan segala macam buku,
Buku menyediakan segala macam ilmu,
Dan ilmu akan bisa mengubah manusia.
Tetapi gadis itu sudah pasti dengan dirinya
Tak ingin melihat Indonesia lagi;
Ayahnya sudah putus asa
Meyakinkan Fang Yin untuk kembali.
Dan ketika Ayah pulang ke Indonesia
Fang Yin tetap berkeras hati
Untuk tinggal di Amerika Serikat sendiri –
Budaya modern pegangannya, kebebasan sandarannya.
Fang Yin suka perlindungan hukum
Itu sebabnya ia marah kepada Indonesia;
Fang Yin tak suka kekerasan
Itu perkara ia benci Indonesia.
Namun, karang pun bisa goyah oleh ombak besar:
Samudra bisa menjadi padang pasir
Apa yang tak berubah di bawah Matahari?
Nasihat ayahnya sudah begitu dalam berakar.
Amerika hanyalah tempat sementara untuk singgah
Tapi kita lahir di Indonesia, jadi mati sebaiknya di sana –
Luka masa silam harus dilawan
Cinta Ibu Pertiwi harus ditumbuhkan.
Dan selangkah demi selangkah, dengan susah payah
Kemarahan Fang Yin pun mulai reda
Walau kesedihan atas huru-hara itu
Masih membayang seperti hantu.
Fang Yin mulai tumbuh jati diri
Bertahun buku filsafat, sastra, agama, politik dilahapnya;
Ilmu pengetahuan memahatnya
Derita panjang masa silam justru melezatkan sikap hidupnya.
Dan sesudah tiga belas tahun berlalu
Fang Yin mulai merasakan rindu.
Terkenang kampung halaman, masa remaja di Jakarta;
Tak sadar, disebutnya nama Albert Kho, cinta pertamanya.
Di manakah engkau kini, pujaan hatiku?
Sejak kepindahannya ke Amerika,
Mereka tak pernah lagi menjalin hubungan;
Hanya sapu tangan itu yang kini tersisa.
Selentingan ia dengar kabar, Kho sudah berkeluarga
Rina nama istrinya, dulu sahabat kental Fang Yin –
Ia juga seorang keturunan Tionghoa;
Keduanya telah menjadi Muslim dan Muslimah.
Terbayang olehnya saat Kho dan Rina
Menjenguknya di rumah sakit dulu;
Fang Yin hanya bisa diam, menyimpan kepedihan
Ditinggal orang yang sudah sangat lekat di hati.
Description: http://puisi-esai.com/wp-content/uploads/2012/03/Puisi_1_5.jpg
/12/
Fang Yin kembali berlutut di hadapan sapu tangan,
Korek api ia nyalakan –
Ingin dibakarnya sisa kenangan pacarnya dulu:
Masa silam harus segera dihapus dari ingatan.
Albert Kho harus pula aku lupakan, katanya.
Tangan yang memegang korek kembali gemetar;
Ia ketakutan, seolah api itu akan menghanguskan dirinya;
Dan api pun tak jadi berkobar.
Fang Yin menangis.
Mula-mula perlahan, lama-lama semakin mengiris –
Ditahan-tahankannya
Agar tak ada orang lain mendengar.
Ia nyalakan lagi korek api –
Dan tanpa pikir panjang, ia bakar sapu tangan itu;
Api menyala, sapu tangan terbakar
Ia melihat seluruh dirinya yang lama menjadi abu.
Masa silam terbakar,
Derita panjang ikut terbakar,
Cinta pada Kho terbakar
Cemburu pada Rina pun lenyap terbakar.
Dan kemarahannya pada Indonesia?
Terbakar sudah, bagai ritus penyucian diri;
Semesta seolah berhenti
Waktu senyap – lama sekali.
Dan sapu tangan pun jadi seonggok abu.
Fang Yin merasa lahir kembali
Jadi perempuan yang sama sekali baru
Bersih dari kengerian masa lalu.
Air mata menetes mengiringi api,
Sapu tangan tak ada lagi.
Ia kini berhasil berdamai dengan masa silam
Ia kini berhasil menjadi Fang Yin yang baru.
Khusyuk ia berdoa: Ya Tuhan, tumbuhkan keberanian
Aku berniat kembali ke Ibu Pertiwi
Ijinkan kuhabiskan sisa hidup di sana
Tanah yang melahirkanku, jadikan juga tanah yang nanti menguburku.

/13/
Apa arti Indonesia bagi Fang Yin?
Lahir di sana tak ia minta
Ketika trauma masih menganga
Indonesia hanya kubangan luka.
Kini ia melihat Indonesia dengan mata berbeda
Negeri itu menjadi cermin dirinya yang terus berubah
Ia ingin seperti buyutnya
Lahir, cari nafkah, berjuang lalu mati di sana.
Indonesia masuk lagi dalam kalbunya
Seperti nyiur yang melambai-lambai
Mengimbaunya untuk segera pulang!
Fang Yin merasakan rindu, menitikkan air mata.
Menurut kalender Cina, 2012 adalah Shio Naga
Akan baik peruntungannya;
Ia rindu masa remaja,
Ia rindu tempat dulu menghabiskan senja di Jakarta.
13 tahun lalu, ia datang ke Amerika
Membawa kemarahan yang sangat
Membawa dendam kesumat
Kepada Indonesia.
Kini ia ingin pulang, rindunya membara
Ia ingin Indonesia seperti dirinya: menang melawan masa lalu
Musibah dan bencana datang tak terduga
Yang penting harus tetap punya mimpi.
Ini Indonesia baru, katanya, kata mereka.
Ya, ya – niatnya pun teguh: Aku segera kembali ke sana!
Aku segera pulang ke sana!
Aku segera hidup di sana!
  1. Dalam puisi ini, kata Tionghoa dan Cina merujuk pada kelompok etnis yang sama. Tionghoa diekspresikan sebagai ucapan netral. Sedangkan Cina lebih merupakan “umpatan negatif” yang dilontarkan massa dalam kisah huru-hara.
  2. Tercatat sekitar 70.000 warga keturunan etnis Cina meninggalkan Indonesia pascakerusuhan Mei 1998 itu. Lihat, Ivan Wibowo (ed.), COKIN: So What Gitu Lho! (Jakarta: Komunitas Bambu-Jaringan Tionghoa Muda, 2008), h. viii.
  3. Kawasan-kawasan eksklusif yang menjadi hunian warga keturunan Cina mirip dengan kebijakan penjajah Belanda di masa lalu. Mereka sengaja ingin memisahkan orang-orang Cina supaya tidak berinteraksi dengan pribumi. Sebab kalau itu dibiarkan, ia bisa menjadi kekuatan sosial yang besar dan membahayakan penjajah. Kebijakan ini disebut Wijkenstelsel di mana Belanda menciptakan pemukiman etnis Cina atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia, Era Kolonial. Anehnya, model pemukiman seperti itu tetap dilanjutkan sampai sekarang.
  4. Pada 13-14 Mei itu, banyak gadis Cina yang bernasib sama dengan Fang Yin. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di Bandung, Solo, Medan, Makassar dan kota-kota lain. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat 78 orang perempuan Cina menjadi korban perkosaan, 85 orang mengalami kekerasan seksual, disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam. Korban yang meninggal dunia tercatat sekitar 1.217 orang (1.190 orang di antaranya meninggal akibat terbakar), luka-luka 91 orang, dan hilang 31 orang. Lihat dalam Ester Indahyani Jusuf, Hotma Timbul, Olisias Gultom, Sondang Frishka, Kerusuhan Mei 1998 Fakta, Data dan Analisa: Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Jakarta: SNB dan APHI, 2007), h. 177.
  5. Sehari setelah pecah kerusuhan 13 Mei, para jenderal pergi ke Malang untuk menghadiri upacara komando pengendalian (Kodal) Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) dari divisi I ke divisi II. Huru-hara masih berlangsung, korban masih bergelimpangan. Ketika kerusuhan itu terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15. Ia dengan penuh percaya diri meninggalkan tanah air pada 9 Mei 1998 karena yakin tak akan terjadi peristiwa besar seperti kerusuhan atau kudeta tentara, karena pada saat itu demonstrasi sering terjadi dan menjadi kegiatan rutin. Lihat, misalnya, Tjipta Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 120.
  6. Para pengamat menyebutkan, saat itu sedang terjadi rivalitas Prabowo dan Wiranto. Letjen TNI Prabowo yang pada saat itu menjabat Pangkostrad ingin mengalahkan seniornya Panglima ABRI Wiranto. Peristiwa Trisakti dituduhkan kepada Prabowo. Tapi pihak Prabowo membantahnya. Prabowo juga dituding terlalu dekat dengan tokoh-tokoh reformasi, dan ditengarai menyetujui tuntutan Soeharto mundur. Katanya, ia sedang mematangkan situasi untuk ambil alih kekuasaan. Sementara itu, Wiranto dianggap tetap menginginkan Soeharto bertahan. Maka ketika Ketua MPR Harmoko menuntut Soeharto mundur, Wiranto mengatakan bahwa itu pendapat pribadi Harmoko yang sama sekali tidak konstitusional. Begitu banyak kabar burung yang beredar. Kajian menarik menyangkut hal ini lihat, misalnya, Dian Andika Winda dan Efantino Febriana, Rivalitas Wiranto-Prabowo : Dari Reformasi 1998 hingga Perebutan RI-1 (Yogyakarta: Bio Pustaka, 2009).
  7. Beberapa kasus kerusuhan anti-Cina yang pernah terjadi yaitu: (dikutip dari http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/11/
    riwayat-kerusahan-rasial-di-indonesia/… Lihat juga, Karta Raharja Ucu, “Tionghoa dan Sejarah Kelam Kerusuhan di Indonesia”, http://m.today.co.id/index.php?kategori=nasional
    &sub=nasional&detail=8182)
    Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti-Cina terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
    Pekalongan, 31 Desember 1972. Terjadi keributan antara orang-orang Arab dan keturunan Cina. Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Cina. Keributan terjadi saat acara pemakaman.
    Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan toko Cina. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
    Bandung, 5 Agustus 1973. Kasus serempetan gerobak dengan mobil berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil orang-orang Cina. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.
    Ujungpandang, April 1980. Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya Cina-nya. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik warga keturunan Cina dirusak.
    Medan, 12 April 1980. Sekelompok mahasiswa USU (Universitas Sumatera Utara) bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti-Cina. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
    Solo, 20 November 1980. Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda keturunan Tionghoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang Cina.
    Surabaya, September 1986. Pembantu rumah tangga dianiaya majikannya yang keturunan Cina. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang Cina.
    Pekalongan, 24 November 1995. Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci al-Quran. Akibat ulah penderita gangguan jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Cina.
    Bandung, 14 Januari 1996. Massa mengamuk seusai pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang Cina. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya karcis.
    Rengasdengklok, 30 Januari 1997. Mula-mula ada seorang keturunan Cina yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko Cina.
    Ujungpandang, 15 September 1997 Benny Karre, seorang keturunan Tionghoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi, kerusuhan meledak, toko-toko Tionghoa dibakar dan dihancurkan.
    Februari 1998 Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari – Anti Tionghoa
    Kerusuhan Mei 1998 Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998.
    5-8 Mei 1998 Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.
    Jakarta, 13-14 Mei 1998. Kemarahan massa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik tertentu jadi kerusuhan anti-Cina. Peristiwa ini merupakan peristiwa anti-Cina terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.
    Solo, 14 Mei 1998. Ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghoa.
  8. Salah satu pencapaian penting ialah keluarnya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia di mana dalam Pasal 2 disebutkan: “Yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Itu berarti eksistensi warga keturunan Cina semakin terlindungi secara hukum dan konstitusi.



2.Romi dan Yuli dari Cikeusik
/1/
Juleha namanya, asli Betawi.
Sejak remaja Yuli panggilannya –
Dan ia suka.
Di atas sajadah
Masih juga tersedu si Yuli.
Jam 3.00 dini hari
Ia lantunkan doa pedih
Lirih.
Ya, Tuhan gerakkan hatiku1
Berikan aku isyarat menuju cahaya
Kebimbangan ini menyiksaku.
Foto Romi di tangannya,
Kekasihnya;
Diingatnya Ayah
Yang membesarkannya –
Mengapa aku tak bisa memiliki keduanya?
Ah, yang seorang umat Ahmadiyah
Seorang lagi Muslim garis keras.
Pedas, keras ucapan ibunya
Setiap kali perempuan itu memperingatkannya,
Kita di Indonesia, tidak di Amerika.
Di sini agama di atas segala
Tak terkecuali cinta remaja.
Description: http://puisi-esai.com/wp-content/uploads/2012/03/Puisi_2_1.jpg
/2/
Ditatapnya sekali lagi foto Romi
Pria penuh kasih dan sayang.
Paduan jiwaku, soul-mate,
Calon suamiku.
Masa silam pun melintas adegan demi adegan:
Ketika itu Yuli lagi patah hati
Menderita penyakit sulit disembuhkan
Karena itulah kekasih lamanya pergi
Menikah dengan gadis lain.
Di masa segalanya terasa kosong,
Di masa semuanya tercecap hambar,
Muncullah seorang pemuda
Romi namanya – membawa aroma berbeda;
Ditemaninya gadis itu ke dokter,
Ditemaninya mencoba resep herbal,
Ditemaninya berdoa
Mengharapkan keajaiban.
Tasbih pemberian Romi di ulang tahunnya
Tak pernah lepas dari tangannya:
Keduanya senantiasa berzikir bersama.
Selembar puisi menempel di dinding kamarnya
Kata dirangkai dalam larik,
Larik ditata dalam bait,
Menyihirnya setiap kali menjelang tidur.
Tak terdengar isak tangis Yuli
Yang dalam, yang berkepanjangan.
Dibayangkannya Romi,
Dibayangkannya dirinya sendiri
Terombang-ambing dalam bayang-bayang kenyataan
Yang kelam: harus pupus cinta karena beda paham agama.
/3/
Rokhmat nama aslinya, Romi panggilannya
Nama yang pas untuk orang kota, katanya,
Berasal dari keluarga kurang berada
Tinggal di salah sebuah kantong permukiman
Satu dari banyak pemukiman Jemaah Ahmadiyah.
Ancaman serius bagi akidah,
Kata sebagian orang.
Ia tak mau lagi mewarisi kemiskinan
Tak mau begitu saja menyerah
Dan berkat kecerdasannya ia peroleh beasiswa
Belajar ilmu bisnis ke mancanegara.
Ayahnya pengurus Ahmadiyah
Itu ia tak minta
Sejak kecil dididik oleh lingkungannya
Juga itu ia tak minta,
Demikianlah, ia pun menjadi seorang Ahmadi.
Dipelajarinya filsafat dan pengetahuan Barat
Ajaran Ahmadiyah mengalir dalam darahnya.
Namun, tidak fanatik ia!
Semua agama warisan dunia
Bisa diikuti siapa saja
Bisa diambil inti sarinya
Untuk kebaikan semua,
Begitu selalu katanya.
/4/
Saat pertama berjumpa Romi
Di taman kampus itu
Dalam sebuah pagelaran seni antaruniversitas
Yuli terdengar melafalkan sajak Kahlil Gibran,
Bila cinta tlah memanggilmu, ikutlah jalannya walau mungkin berliku
Dan bilamana sayapnya mendekapmu…
Ia lupa kata selanjutnya
Diulanginya lagi potongan kalimat Kahlil Gibran itu,
Dan bilamana sayapnya mendekapmu…
Tetap saja tak diingatnya lanjutan larik itu;
Saat itulah terdengar suara dari belakang
Menyambungnya,
Dan bilamana sayapnya mendekapmu, pasrah dan menyerahlah,
Walau pedang yang bersembunyi di sayap itu menghunusmu…
Laki-laki yang menyahut itu memperkenalkan diri,
Saya Romi.
Itulah awal mula segala
Yuli mahasiswi
Romi pengusaha franchise
Yang juga dosen muda dari universitas lain.
Keduanya bertemu lagi
Bertemu dan bertemu lagi
Di kampus
Di toko buku
Di bioskop
Di rumah makan
Di rumah masing-masing.
Sampai pada suatu hari
Yuli dan Romi tersadar:
Bunga tampak lebih indah sore itu
Padahal bunga yang sama,
Burung lebih lincah dari sedia kala
Padahal burung yang itu juga.
Ya, ya, bunga dan burung boleh saja sama
Tetapi hati yang telah berubah
Mampu menyulap apa pun yang kasat mata
Tampak lebih indah.
Di mana pun mereka senantiasa bersama
Tertawa-tawa, berbisik-bisik,
Tukar-menukar kata tentang ini dan itu,
Tentang Yang Di Sana dan yang di sini:
Demikianlah maka mereka pun dikenal
Sebagai Romeo dan Juleha, pasangan pecinta puisi.
Sampai jugalah hari itu:
Rencana pernikahan pun dirundingkan.
Dua keluarga berjumpa
Dua keluarga bulat mufakat
Tanggal, bulan, dan tahun pernikahan
Semua sepakat –
Tanpa bicara paham agama:
Undangan pernikahan segera disiapkan.
Description: http://puisi-esai.com/wp-content/uploads/2012/03/Puisi_2_2.jpg
/5/
Tak ada hujan tak ada badai
Tak ada petir tak ada kilat
Mendadak pernikahan batal
Langit pun terkejut.
Penyebabnya peristiwa itu!
Tanggal 6 bulan Februari tahun 2011
Kampung Romi di Cikeusik dilanda huru-hara.
Ketika Jemaah Ahmadiyah sedang mengadakan pertemuan
Massa menyerang –
Dan nyawa empat orang2
Melayang!
Kebetulan Romi menyaksikan peristiwa itu
Di layar kaca
Ketika ia dan Yuli makan siang
Di sebuah restoran Jepang.Wajahnya tampak tegang
Itu teman-temanku, ujar Romi;
Yuli tersentak.
Maksudmu? Kamu pengikut Ahmadiyah?
Romi mengangguk, pelan.
Mengapa kamu tidak pernah cerita?
Romi terdiam.Yang sedang ditayangkan itu
Bukan sebuah drama
Bukan pula sinema
Tapi rekaman peristiwa di kampung sana.
Orang-orang berbekal kayu dan senjata tajam
Meneriakkan Allahu Akbar!
Mereka garang
Mereka menyerang
Dan beberapa nyawa melayang.
Yuli ikut sedih, dan hanya bisa berkata lirih,
Pulang sajalah kau, Romi, sekarang.
Cari kabar keadaan orang tuamu
Cari tahu nasib teman-temanmu.
Romi menahan air matanya, lalu dikatakannya,
Maafkan aku Yuli,
Aku tak pernah cerita itu;
Bagiku perbedaan paham agama
Tak perlu menjadi sengketa.
Romi pun bercerita,
Ahmadiyah itu bla…bla…bla…
Ra…ra…ra…
Ra…ri…ru….
Mereka dituding sesat karena bla…bla…bla…
Padahal ra…ra…ra…
Romi diam sejenak, lalu dilanjutkannya,
Mereka tidak mendudukkan
al-Tazkirah sebagai Kitab Suci
dan menganggapnya sebagai karya Ghulam Ahmad
Tiada lebih.
Mereka berkeyakinan sama dengan umumnya akidah Islam
Menjalankan ibadah sesuai lima rukun Islam
karena bla…bla…bla…
Ra…ra…ra…
Romi mengambil nafas panjang
Kembali berkicau,
Polemik Ahmadiyah sering terjadi sejak 1925
Dulu semua damai saja
Tapi orang sekarang pendek sumbunya
Tidak lagi sanggup menenggang perbedaan
Padahal bla…bla…bla…
Ra…ra…ra…
Romi menuturkan semua pengetahuannya,
Yuli menyimaknya
Dengan airmata
Yang terus mengalir di kedua pipinya.
Setelah agak reda
Yuli masuk ke inti perkara,
Ya Romi
Itu kan Ahmadiyah versimu
Versi ayahku jauh berbeda.
Kamu tahu, ayahku pengurus masjid
Yang punya paham anti-Ahmadiyah.
Yuli melanjutkan, sambil menyeka air matanya,
Menurut ayahku, Ahmadiyah itu
Ta…ta…ta…
Bla…bla…bla…
Karena mereka
La…la…la…
Bla…bla…bla…
Mereka berdua larut dalam diam
Hati mereka berpelukan
Tapi pikiran mereka bersilangan.
Melihat wajah Yuli yang memucat
Romi kuatir penyakit lamanya kambuh.
Description: http://puisi-esai.com/wp-content/uploads/2012/03/Puisi_2_3.jpg
/6/
Sejak huru-hara Cikeusik itu
Yuli mulai berubah
Ia tampak senantiasa gelisah
Kalau ayah dan ibunya tahu
Siapa sebenarnya si Romi itu
Cinta mereka harus tamat
Harus kiamat mat-mat-mat-mat.
Hampir tiap malam
Orang berkumpul di rumah Yuli
Dan huru-hara Cikeusik yang kelam
Jadi pusat gunjingan, jadi inti.
Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Tak jarang teriakan itu terdengar
Di sela-sela kata-kata yang marah,
Di sela-sela sumpah-serapah.
Ayah Yuli aktivis Islam yang tegak
Di garis keras.
Yuli pun berusaha mencari jalan
Untuk melunakkan hati ayahnya,
Untuk mengendorkan kepalan tangannya;
Dicarinya pandangan lain
Dari kalangan pembela hak asasi,
Dari ulama moderat,
Dari tokoh agama yang bisa menjembatani.
Konon, sumber kekerasan adalah sebuah fatwa:
Ahmadiyah dinyatakan sesat tahun 2005.
Dan sejak itulah
Azab-sengsara menimpa para Ahmadi.
9 Juli 2005,
Perguruan al-Mubarok milik Ahmadiyah
di Parung, Bogor
Diserang massa.3
Sejak tahun 2006 hingga entah kapan
Di Mataram ratusan jemaah Ahmadiyah diserbu
Mereka dipaksa mengungsi.4
27 April 2008
Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah
Di Parakansalak, Sukabumi
Dibakar massa: para Ahmadi lari lintang-pukang
Tiga bangunan madrasah rata dengan tanah.5
Juni 2008
Terbit Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama,
Menteri Dalam Negeri,
Dan Jaksa Agung.
Isinya:
Titah bagi jemaat Ahmadiyah
Untuk menghentikan semua kegiatan
Yang tidak sesuai
Dengan penafsiran Islam.
Tetapi para pembela hak-hak asasi manusia
Menilai Surat Keputusan Bersama tak adil,
Melanggar hak-hak asasi manusia,
Bertentangan dengan Undang-undang Dasar ‘45,
Dan tidak akan mengakhiri masalah.6
Yuli semakin bingung,
Semakin banyak yang ia dengar
Semakin beragam isinya
Semakin kabur semua baginya.
Satu-satunya hal yang pasti:
Ayah dan Ibu mengubah pikiran
Rencana pernikahan pasti dibatalkan.
Kecuali jika ada mukjizat.
/7/
Suatu malam
Yuli mengajak orang tuanya berbincang:
Disampaikannya cerita tentang Romi
Apa adanya: korban Cikeusik itu kerabatnya.
Orang tua Yuli bagai kena setrum
Bagai tersambar halilintar:
Dan dalam kegeraman mereka berkata,
Demi nama baik keluarga
Pernikahan harus dibatalkan!
Ayah Yuli berteriak mengatakan,
Ahmadiyah telah menyimpang dari Islam yang benar
Ajarannya sudah dinyatakan sesat
Dalam agama berlaku prinsip
Bla..bla..bla…
Ra…ra..ra…
Yuli mencoba menjawab,
Ahmadiyah itu Islam juga
Karena ta…ta…ta…
La…la…la…
Hari itu, Yuli dan ayahnya berdebat keras
Lirih Yuli berkata,
Ayah, aku hidup di zaman yang berbeda
Jangan paksakan pikiran Ayah padaku
Aku memang anak Ayah.
Tapi batinku dan pikiranku bukan punya Ayah.
Ini bukan pikiran Ayah, Yuli.
Ini perintah agama! sahut ayahnya.
Percakapan pun selesai, tak ada jalan lagi
Kecuali yang buntu.
Ayah dan Ibu sepakat bulat,
Agama Allah tak boleh kalah
Oleh cinta sesaat para remaja.
Description: http://puisi-esai.com/wp-content/uploads/2012/03/Puisi_2_4.jpg
/8/
Di Cikeusik, Romi pun tertunduk
Di hadapan orang tua,
Berterus terang bahwa ayah Yuli
Adalah aktivis organisasi anti-Ahmadiyah.
Ayah Romi kaget, dikatakannya,
Kita semua sedang berduka, Nak,
Kita tahu sikap mereka
Kita merasakan horor yang mereka taburkan.
Mereka itu bla…bla…bla…
Sedangkan kita tra…la…la…tra…li…li…
Romi mencoba mencoba meluruskan,
Ayah, antara Ahmadiyah dan garis keras itu
Sebenarnya ra…ra…ra…
Ra…ri…ru…
Penjelasan Romi terbang terbawa angin;
Ayah memutuskan
Rencana pernikahan dibatalkan,
Stop! Hentikan semua hubungan!
Romi terus menentang
Ia merasa punya hak untuk berbeda
Ia tak ingin mewarisi permusuhan ayahnya,
Perselisihan Ahmadiyah dan garis keras tak menariknya.
Dikutipnya syair dari Kahlil Gibran,
Ayah, dengarkan ya Ayah,
‘Anak-anakmu bukanlah anakmu
Mereka anak-anak kehidupan.
Pada mereka engkau boleh berikan cintamu
Tapi jangan kau paksakan bentuk pikiranmu
Jangan membuat mereka menyerupaimu
Karena mereka tinggal di rumah esok.’
Ayah membentak Romi keras sekali,
Romi, sekarang kamu dengarkan Ayah.
Kedudukan agama itu di atas puisi!
Jangan kaubandingkan penyair dengan Nabi!
/9/
Walaupun orang tua tidak setuju
Romi dan Yuli tetap rajin bertemu
Tanpa orang tahu;
Romi tak letih-letihnya mencari jalan
Untuk menikahi Yuli.
Yuli, kita bukan anak durhaka
Kita tak hendak melawan orang tua
Tapi kita punya hak atas hidup kita sendiri.
Peradaban menjadi maju
Karena di semua zaman
Selalu ada anak-anak yang berani berbeda dengan orang tua,
Tegas Romi.
Yuli hanya menunduk diam.
Sebagai laki-laki
Romi tak harus dinikahkan orang tua,
Tetapi Yuli perempuan
Baginya izin orang tua diperlukan.
Itu adalah keharusan nikah yang sah menurut agama.
Romi, kau tahu pendirianku.
Aku pun tak suka dibatasi hanya karena aku perempuan.
Tapi tanpa izin orang tuaku, kita tak akan sah menikah.
Itu hukum agama, karena aku perempuan, jawab Yuli.
Kedua anak muda itu menatap kosong
Hanya jalan buntu yang terbayang.
Bagaimana jika kita kawin lari, ujar Romi
Mencoba meyakinkan Yuli.
Diceritakannya tabungan dan kesiapannya
Dan jika anak kita lahir nanti,
Agama apa pun sah ia ikuti.
Yuli, oh, Yuli, ujar Romi,
Tak usahlah kita menjadi korban,
Tak usahlah kita terbawa
Oleh huru-hara yang mereka cipta.
Mulut Yuli terkatup rapat
Tapi hatinya yang semakin pahit
Melengking, menjerit.
Tak pernah ada dalam pikirannya
Untuk melawan Ayah
Untuk melawan Ibu
Yang melahirkannya.
Oh Tuhan,
Tunjukkan keajaiban.
Romi, ikhlaskan saja aku –
Aku tak bisa menemui lagi.
Cinta tak harus bersatu
Mungkin ini pertanda kita harus berpisah.
Yuli berlari, menangis,
Menembus malam
Didera keputus-asaan.
Romi pun melompat bangkit,
Disambarnya tangan Yuli
Dan dengan keras dikatakannya,
Yuli, kita hanya akan pisah
Jika ada di antara kita berbuat salah.
Punya paham agama berbeda itu normal!
Itu bukan kriminal!
Teguhkan janjimu
Bajakan hatimu,
Cinta kita tak boleh lemah!
Yuli diam
Lalu pelan ia mengangguk
Tanda setuju.
Diyakinkannya lagi Yuli,
Ayo Yuli, sihir hatimu,
Katakan: ‘Cinta kalahkan segala.’
Ya Rom,’ balas Yuli pelan,
‘Cinta kalahkan segala!’
Ingat, Romi, jangan kira
Aku tak berupaya.
Air tumpah dari mata Yuli
Air menggenang di mata Romi –
Ya, sebagai lelaki, hampir tak pernah
Matanya basah.
Tekad sudah diikrarkan
Tetapi di lubuk hati paling dalam
Diam-diam Romi merasa
Saat berpisah akan datang jua.
Dan saat itu tak lama lagi
Pasti tiba.
Rasa itu begitu saja menyusup di hatinya.
Yuli berlari menerjang malam
Yang dirasanya semakin kelam,
Ia hujat dirinya sendiri,
Ya Allah, mengapa Kau sodorkan padaku
Pilihan ini,
Malapetaka ini?
Romi terpaku
Malam seperti batu
Menindihnya.
/10/
Di rumah, ayah dan ibu Yuli ikhtiar
Romi harus segera disingkirkan;
Yuli perlu jodoh yang baru
Pemuda Muslim dari keluarga baik-baik.
Mereka pun teringat akan Hartono,
Seorang pemuda santun, Pacar Yuli pertama,
Baru pulang sekolah dari Mesir tiga bulan lalu;
Kepada ibunya ia suka bertanya
Tentang kabar Yuli, pacarnya dulu.
Demikianlah maka kedua pasang orang tua
Merancang pertemuan anak-anak mereka:
Sekali
Dua kali
Dan ini kali ketiga.
Hati Yuli pernah merekah
Oleh kasih Hartono –
Tapi itu sudah lama lampau.
Hartono berniat menyambung kembali
Hubungan yang terputus
Semenjak ia pergi ke Mesir.
Tetapi hati Yuli sudah tertutup baginya
Tak kuasa lagi ia membukanya:
Romi tidak bersalah,
Dan janjinya, ‘Cinta kalahkan segala.
/11/
Jam menunjukkan pukul 6.00 pagi
Yuli berzikir sejak dini hari,
Tubuhnya semakin letih, melemah;
Semua tenaga ia tumpahkan,
Semua daya ia curahkan.
Ia pun pingsan.
Ketika ibunya membuka pintu kamar
Dilihatnya Yuli terkapar,
Ia pun menjerit – dan pingsan.
Seisi rumah ribut: kalang kabut
Bawa ke rumah sakit, segera!
Bawa ke rumah sakit sekarang juga!
Penyakit lama Yuli kambuh.
Kanker getah bening stadium dua,
Kata dokter, ia masih bisa disembuhkan
Asalkan pikirannya lebih tenang.
Ayah dan ibunya terdiam
Dan menangis berangkulan.
Ketika gadis itu siuman
Dengan lembut dipanggilnya ayah-ibunya,
Dan ditanyakannya,
Apakah Ayah dan Ibu mencintai saya penuh seluruh?
Tampaknya ajal tak lagi jauh, ujar Yuli.
Ayah dan Ibu menangis lagi,
Umur di tangan Tuhan, anakku, sahut Ayah.
Hartono, pria yang akan dijodohkan itu
Hadir pula di sana;
Mendengar percakapan itu
Buru-buru ia minta pamit.
Tentu ada rahasia
Yang ingin disampaikan Yuli, pikirnya.
Bisakah Ayah dan Ibu mengabulkan permintaanku?
Yuli meneruskan bicaranya,
Inilah satu-satunya suara
Yang berdengung dalam ruang-ruang hatiku –selalu.
Suara ayahnya terbata-bata,
Pasti akan kami kabulkan jika mampu.
Dengan pandangan yang lembut
Yuli pun berkata,
Aku ingin segera dinikahkan dengan Romi
Dialah jodohku!
Halilintar kembali menyambar-nyambar,
Angin topan kembali berputar-putar
Di jantung sepasang laki-bini itu.
Apa yang akan kukatakan nanti
Kepada pengurus masjid
Jika anakku yang semata wayang
Menikah dengan seorang musuh?
Serunya kepada diri sendiri.
Namun, ia pikir, jika mereka bersikeras
Yuli akan tak lagi punya semangat hidup.
Oh Tuhan, ujar Ibu,
Mengapa Kau-sodorkan kepada kami
Pilihan yang pelik ini?
/12/
Meski Yuli belum juga pulih
Keluarga memutuskan
Untuk berobat jalan saja.
Rumah sakit semakin mahal, ujar ibunya.
Maklum, mereka keluarga sederhana.
Sudah tiga hari berlalu
Ayah dan Ibu seperti bisu,
Hati mereka bagai dibelah:
Paham agama dan cinta putrinya.
Jangan-jangan itu benar permintaan terakhir,
Pikir mereka.
Hari-hari pun dipenuhi shalat istikharah
Meminta petunjuk Allah,
Ya Allah,
Kami pasrah.
Bukakan hati kami
Tunjukan jalan bagi kami.
Dalam pikiran yang carut-marut
Ayah Yuli sempat berpikir
Bagaimana jika Yuli dan Romi kawin lari?
Ini solusi mujarab, pikirnya,
Agar mereka terhindar dari kemarahan tetangga
Agar bisa bebas dari cemooh kelompok masjid
Agar bisa lepas dari rasa malu
Terhadap keluarga Hartono.
Namun ibu Yuli malah menangis.
Yuli anak satu-satunya
Dan ingin dilepaskannya masa lajang Yuli
Dengan tangannya sendiri –
Apalagi kesehatan Yuli semakin buruk,
Katanya kepada suami.
Hari demi hari merayap
Terasa pelan sekali
Tercecap pahit sekali.
Ya Allah, tunjukanlah jalan bagi kami.
Seminggu kemudian
Keputusan diambil, walau tidak bulat:
Mereka merestui hubungan Yuli dengan Romi.
Di dalam hati Ayah dan Ibu masih tak yakin
Apakah mereka bisa dibenarkan Allah.
Mereka dahulukan cinta anaknya di atas paham agama
Mereka hanya ikuti suara hati.
Mereka menyesali diri
Karena tak kuasa meneladani Nabi Ibrahim
Yang rela menyembelih anaknya demi agama
Walau Tuhan akhirnya menyelamatkan anak Ibrahim.
Sedangkan mereka
Memilih mengorbankan keyakinan agama
Demi nasib putrinya, semata wayang.
Betapa berat pengorbanan!
/13/
Akan segera disampaikan
Kabar baik itu
Kepada Yuli.
Ayah dan ibunya membayangkan
Betapa bahagia akan menyapu derita,
Betapa mukjizat ini
Akan menyembuhkan anaknya.
Namun, tak terdengar sahutan apa pun
Ketika kamar Yuli diketuk.
Dan ketika pintu dibuka paksa
Mereka menyaksikan akhir sebuah cerita:
Yuli sudah tergeletak
Tanpa nyawa,
Yuli sudah menghadap
Yang Mahakuasa.
Kisah duka sudah dituntaskan
Bagi manusia,
Layar Agung sudah diturunkan
Dari atas Sana.
Yuli sudah tiada
Sebelum sempat mendengar berita bahagia.
Ayah Yuli terjatuh lunglai
Ibunya menjerit histeris,
Nama Tuhan disebut bercampur air mata
Luka yang mahaperkasa bertahta.
  1. Dan tatkala Musa menghadap ke negeri Madyan ia berdoa, semoga Tuhanku membimbingku ke jalan yang benar. (Al-Qashash: 22)
  2. Untuk detail kronologi penyerangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, lihat http://www.ahmadiyya.or.id/index.php?option=com_content
    &view=article&id=95:pers-release-jemaat-ahmadiyah-ttg-peristiwa-cikeusik&catid=41:info&Itemid=61.
  3. Kampus Mubarak merupakan kantor Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang beralamat di jalan Raya Parung No. 27 Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor. Mereka diserang oleh sekelompok massa yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam yang dipimpin oleh di antaranya Habib Abdurahman Assegaf dan M. Amin Djamaludin. Aksi penyerangan tersebut mengakibatkan rusaknya aset-asetnya Jamaah Ahmadiyah dan jatuhnya korban luka-luka pada beberapa orang anggotanya dan aksi itu berujung pada penutupan secara paksa Kampus Jamaah Ahmadiyah Indonesia tersebut oleh Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Bogor melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) atas desakan dari massa penyerang. Sumber: http://www.bantuanhukum.or.id/index.php/
    id/menukasuslbh/
    minoritas/penganut-agamakepercayaan/183-ahmadiah.
  4. Ketika para pengungsi Ahmadiyah ini hendak pulang kembali ke kampung mereka di Gegerung Lingsar pada 26 November 2010, mereka kembali diserang warga setempat. Warga merusak sedikitnya 22 rumah milik pengikut Ahmadiyah. Karena itu, para pengikut Ahmadiyah itu kembali mengungsi ke Asrama Transito. Ada lebih dari 180 pengikut Ahmadiyah di NTB. Sekitar 130 orang tinggal di Asrama Transito Mataram, dan sisanya di Lombok Tengah. Sumber: http://nasional.vivanews.com/news/read/
    220474-ntb-atasi-ahmadiyah-dengan-dakwah-lisan.
  5.  Untuk laporan yang lebih detail peristiwa penyerangan ini lihat, “Hangusnya Masjid di Lembah Sejuk”, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/
    2008/05/05/LU/
    mbm.20080505.LU127087.id.html.
  6. SKB tiga menteri itu memang tidak berhasil menyelesaikan masalah. Konflik dan tindak kekerasan tetap terjadi. Penyerangan dan pembantaian anggota jemaat Ahmadiyah di Cikeusik pada 6 Februari 2011 merupakan puncak kekerasan menimpa jemaat Ahmadiyah Indonesia. Untuk data dan laporan lengkap kasus Cikeusik bisa dibaca dalam Laporan yang disusun oleh Tim Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) berjudul: Negara Tak Kunjung Terusik, www.kontras.org/data/laporan. Ironisnya, hakim yang mengadili kasus itu pada 28 Juli 2011 hanya menjatuhkan hukuman 3-6 bulan penjara saja kepada 12 terdakwa pelaku penyerangan (www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/
    2011/07/110728_cikeusikverdict.shtml).

Menyamakan visi dari berbagai individu dengan talenta ,pengetahuan yang berbeda ~

Menyamakan visi dari berbagai individu dengan talenta ,pengetahuan yang berbeda ~
Belajar adalah proses~

Share

Ketahuilah, api itu panas, apalagi menceburkan diri akan terbakar kita di dalamnya. Semakin dalam semakin panas dan bahkan semakin bergolak. Karenanya jagalah dirimu jangan sampai mendekat pada api tersebut. Bentengilah diri kamu dengan iman dan taqwa.

Opinion ~_~

Simpel

Populer

Aktual

Edukasi

Prediksi soal UN_

Belajar akting?

Belajar akting?

Seni Tradisi

Seni Tradisi

Belajar Akting?

Belajar Akting?
Lgi pamitan, eee ngasih selendang putih..