Arsip !

Tampilkan postingan dengan label Artikel Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Februari 2024

PEMBELAJARAN BERBASIS KONSTEKTUAL~

TUJUH KOMPONEN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
1. KONTRUKTIVISME:Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.Pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkontruksi” bukan menerima pengetahuan.
2. INQUIRY (MENEMUKAN):Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.
3. QUESTIONING (BERTANYA):Kegiatan guru untuk menolong,membimbing menilai kemampuan berpikir siswa.Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.
4. LEARNING COMUNITY(MASYARAKAT BELAJAR):Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.Bekerja sama dengan orang lain lebih baik dari pada belajar sendiri.Tukar pengalaman,berbagi ide.
5. MODELLING
 ( PEMODELAN):Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir,bekerja dan belajar.Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.
6. AUTHENTIC ASSESMENT (PENILAIAN YANG SEBENARNYA):Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.Penilaian produk (kinerja),tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.
7. REFLECTION :Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari .Mencatat apa yang telah kita pelajari.Membuat jurnal,karya seni,diskusi kelompok.

Minggu, 22 Juli 2012

CTL


Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)

Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai utama pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan awal siswa.Untuk itu diperlukan suatau pendekatan belajar yang memberdayakan siswa. Salah satu pendekatan yang memberdayakan siswa dalah pendekatan kontekstual (CTL).

CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunai pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat, melalui Direktorat SLTP Depdiknas

Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menhadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapinya.

Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan trategi daripada memberi informasi. Guru hanya megelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student centered daripada teacher centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa . 2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.

Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerjasama (cooperating) dan mentransfer (transferring).

Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.

Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.

Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan relevan.

Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.

Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.

Menurut Blanchard, ciri-ciri kontekstual: 1) Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah. 2) Kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai konteks 3) Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri. 4) Mendorong siswa untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri. 5) Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda. 6) Menggunakan penilaian otentik

Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun tujuh komponen tersebut sebagai berikut:



Konstruktivisme (constructivism)

Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.



Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).



Bertanya (Questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, 8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.



Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.



Pemodelan (Modeling)

Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.



Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.

Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment)

Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.

(Sumber:Google,http)

Kamis, 07 April 2011

PENELITIAN PERLUKAH?

Berbicara tentang penelitian selalu dalam kerangka pikir ranah milik komunitas akademis atau birokrat. Seringkali kalau kita berbicara mengenai penelitian pendidikan,kita selalu merasa kesulitan terbentur tembok yang tebal.Terbentuk asumsi bahwa penelitian identik dengan kesulitan .Hal itu wajar.Apalagi bila dalam berproses selalu tidak sekadar menuangkan ide langsung jadi tetapi perlu banyak aspek yang mendukung dalam penelitian. Aspek tersebut semisal penggunaan teori pendidikan yang canggih dan penggunaan rumus statistik,data-data,bukti dan sebaginya. Kesimpulan sementara yang dapat terbentuk adalah bahwa penelitian hanya menjadi milik komunitas pendidikan tertentu, yang memang telah memiliki kemampuan secara khusus. Asumsi tersebut apakah benar? Tentu bisa dengan jawaban benar dan tidak benar.Dikatakan benar karena pada umumnya yang melakukan penelitian pada umumnya komunitas dalam lingkup pendidikan .Bila jawaban tidak benar,orang awam pun bisa melakukan penelitian. Penelitian selalu dianggap kaku,berat.Memang,karena penelitian sudah mempunyai kebakuan atau standarisasi.Sebelum penelitian perlu menyusun proposal,menentukan subjek penelitian,sumber dan bahan penelitian,metode yang perlu dipakai,daftar acuan dan data-data pendukung yang lain. Penelitian yang baik selalu menghasilkan sejumlah temuan, dengan bahasa yang komunikatif, mudah dicerna, dan dapat ditindaklanjuti. Laporan penelitian yang baik, diharapkan memberi semangat kepada para pembaca untuk memahami masalah, menikmati kupasan masalah (pemecahan masalah) dan merasa mampu untuk ikut mangatasi masalah-masalah itu. Macam penelitian pun juga beragam.Misalnya penelitian deskritif analitis,penelitian deskriptif interpretatif,penelitian eksperimen,dll. Dalam dunia pendidikan dewasa ini, pendidik juga dituntut untuk melakukan penelitian.Penelitian yang dimaksud adalah penelitian tindakan kelas (PTK).Bila dibandingkan penelitian ini lebih sederhana dan khusus. Harapannya pendidik mempunyai jiwa dan semangat peneliti dan mampu berinovasi dalam kancah dunia pendidikan.

Rabu, 09 Februari 2011

MANAGEMEN DIRI

MANAGEMENT DIRI Sebagai individu intelektual,selayaknya terbangun di sekolah adalah budaya ilmiah dan berwawasan karakter kebangsaan yang baik. Ini dapat terukur dari tiga hal, yaitu (1) budaya membaca —menela’ah; mengkaji; meneliti— karya-karya ilmiah; (2) budaya menulis karya tulis ilmiah, baik itu buku, jurnal, majalah, buletin, maupun media tulisan ilmiah lainnya; (3) budaya diskusi; dan (4) pola pikir, mental, serta perbuatan berdasarkan ilmu. Namun, realitasnya adalah budaya membaca sangat rendah, budaya menulis sangat lemah; dan budaya diskusi sangat susah. Indikator dari keempat hal tersebut dapat dilihat dari: (1) Peserta didik yang aktif di kelompok kajian (Studi Club) atau kelompok belajar dan organisasi kepemudaan, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang aktif di organisasi atau komunitas lainnya; (2) yang sering muncul dalam acara-acara kegiatan ilmiah pada umumnya sedikit, berputar kepada beberapa orang saja; (3) setiap ada lomba Karya Tulis Ilmiah, pesertanya sangat sedikit; (4) buku; jurnal; dan karya ilmiah masih sangat minim; dan (5) dalam interaksi sosial serta menghadapi persoalan belum mencerminkan sebagai individu yang berkarakter. Stephen R. Covey— untuk hal-hal yang tidak mendesak dan tidak penting. Misalnya, bergadang menonton TV atau film dan sinetron (sinema elektronik) ,main beragam “game” atau Play Station (PS) tak mengenal waktu, chatting, searching, e-mail-email, atau “main internet” tak ada tujuan yang jelas, bahkan kadang ada yang sering meninggalkan sholat lima waktu, dan seterusnya. Manajemen Diri adalah Solusi Apa itu manajemen diri? Secara sederhana, manajemen —merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2001)— memiliki dua arti, yaitu; (1) penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran; dan (2) pimpinan yang bertanggung jawab atas jalannnya perusahaan dan organisasi. Dalam kajian kita saat ini, arti pertama yang relevan dan perlu kita eksplorasi lebih lanjut .Selanjutnya, apa arti “diri” atau “saya”? Apakah yang kita sebut “diri” itu adalah akumulatif dari pikiran kita? Menurut pendapat David J. Schwarz bahwa Kita adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita. Selain itu, ada pula pendapat dari Aristoteles, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang.” Dan pendapat Nurcholis Madjid, “Aku berbuat, maka aku ada”? Sedangkan pendapat Muhammad Iqbal, bahwa ego (diri) adalah suatu kesatuan perasaan-perasaan —mental— kehidupan personal dan merupakan bagian dari sistim pemikiran. Yang kita sebut diri, pribadi, individu, adalah totalitas manusia sebagai perpaduan dari jasad dan rohani, fisik yang bisa kita lihat dan sesuatu yang tak terlihat yang menggerakan fisik (hati; pikiran; jiwa). Diri adalah totalitas dari pemikiran, keinginan, dan gerakan kita dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, perpaduan antara intelektual, emosional, spiritual, dan fisik. Jadi yang dimaksud dengan manajemen diri adalah sebuah proses mengubah “totalitas diri” baik intelektual, emosional, spiritual, dan fisik yang kita miliki agar apa yang kita inginkan (sasaran) dapat tercapai. Tujuh Prinsip dan Kiat Praktis Manajemen Diri : •Awali dengan doa, untuk yang beragama Islam melakukan sholat dan non musim doa dan ibadat pagi, •Terimalah Diri Apa Adanya dan selalu bersyukur •Berikanlah Yang Terbaik bagi diri sendiri,keluarga,lingkungan •Lihatlah Impian yang ingin dicapai •Temukanlah potensi dan peluang yang terdapat dalam diri kita •Rumuskan cara untuk mewujudkan mimpi dan keinginan serta harapan kita •Belajarlah dari pengalaman-pengalaman yang pernah kita alami atau orang sekitar kita


~  pernah dimuat di Seven News -edisi 4-2010/2011, ~

Kamis, 18 November 2010

WIDYAKRAMA UTAMA

NILAI PLUS MOMENTUM RAIH WIDYAKRAMA UTAMA DAN
EKSPEKTASI PERSONAL DUNIA PENDIDIKAN di BOJONEGORO PADA ERA OTONOMI

Ada yang menarik untuk dicermati dari informasi faktual bahwa Bojonegoro yang mampu meraih Widyakrama Utama yaitu penghargaan tertinggi di bidang pendiidkan dari Presiden RI pada tahun ini, tahun 2002. Patutlah kita syukuri bahwasanya dunia pendidikan di Bojonegroo masih bisa unjuk gigi meski banyak hal yang harus dibenagi secara bersama.
Secara singkat dalam kurun waktu pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah tersirat perhatian khusus kebijakan pemerintah kabupaten Bojonegoro di bidang pendidikan ini dianggap oleh pemerintah pusat mampu menyukseskan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar 9 tahun, yang ditetapkan lebih kurang delapan atau sembilan tahun lalu sejalan dengan diberlakukannya kurikulum 1994.
Secara singkat informasi tersebut bisa memberikan suatu cerminan perjalanan sejarah dunia pendidikan di Bojonegoro yang terukir dalam bingkai penghargaan Widyakrama Utama. Penghargaan ini diberikan kepada lima daerah termasuk Bojonegoro, empat daerah yang lain Magelang-Jateng, Mataram-NTB, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan – (Warta Bojonegoro, edisi 43 / IV / Juni 2002)-
Penilaian ada tiga parameter yang dipakai yaitu konsistensi, kinerja aparat, pelayanan masyarakat. Dari ketiga hal ini yang menjadi tombak pelayanan dan dianggap sebagai pondasi untuk memofrmat siswa sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) yang berintelektual tentu saja pendidik atau guru. Karena hal I nilah secara transpara pemkab Bojonegoro memberikan kontribusi kepada guru dengan pemerinan insentif baik kepada guru tetap (GT) dan guru tidak tetap (GTT) baik tenaga pendidik diknas maupun tenaga pendidik depag. Selain itu untuk meningkatkan mutu pendidikan, bagi guru yang hanya lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), diupayakan (dan mungkin difasilititasi) dapat melanjutkan di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) diploma II. Selain itu pemkab tiap tahun mengupayakan membantu biaya pendidikan sebanyak empat puluh (40) guru. Demikian pula guru yang menempuh pendidikan strata 1 (sarjana). Dilakukan pula terobosan antara lain : mendirikan sekolah kejuruan dan berorientasi pada kebutuhan lokal (otoda) – sekolah kejuruan yang bertumpu dengan basic Sumber Daya Alam (SDA) di Bojonegoro dan alur globalisasi yaitu teknologi informatika, pembelajaran masyarakat untuk penerapan teknologi tepat guna, seminar bertema orientasi teknologi tepat guna. (“Peduli Nasib Guru Tekan Buta Huruf, Radar Jawa Pos edisi Rabu, 15 Mei 2002).
Ada yang perlu kita garis bawahi dan kita harapkan bahwasanya penghargaan ini tidak sekedar sebagai simbol dan pajangan kesuksesan saja dari komunitas di Bojonegoro saat dekade kepemimpinan Bupati Atlan yang berbasic kependidikan ini, tetapi jug perlu kita car kelemahan pada diri personal atau individu berkualitas yaitu anak didik atau siswa (SDM) khususnya dipendidikan dasar dan pendidikan menengah. Yang memformat siswa tentu saja pendidik atau guru, yang berada di garis terdepan serta pemerintah selaku penentuan kebijakan.
Guru pada dewasa ini (era otonomi dan menyongsong abad ke-21 = era globalisasi yaitu istilah yang digunakan untuk melukiskan meningkatnya kebergantungan orang dan negara di seluas dunia terhadap satu sama lain. Proses ini telah meningkatkan secara dramatis selama dekade belakangan ini, umumnya karena kemajuan pesat dalam bidang teknologi) dituntut mau bereksplorasi kemampuan agar terbentuk kualitas guru yang dituntut dinamisasi zaman (guru masa depan). Eksplorasi ini tidak hanya sekedar ide atau gagasan saja tetapi juga kemampuan pragmatis, kemampuan bereksperimen, dan berinovasi dan kemampuan memanfaatkan teknologi masa depan, sehingga mampu menjembatani dengan latar belakang pendidikan yang demilikinya. Dengan tidak meninggalkan kompetensi profesi keguruannya. Karena, globalisasi menimbulkan konsekuensi dan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak kita. Seperti yang dilaporkan dari Publikasi PBB, Human Development Report 1999, menjelaskan, “Kehidupan orang-orang di seputar bola bumi terjalin semakin erat, semakin intens, semakin langsung dibandingkan dengann sebelumnya. Hal ini menimbulkan banyak kesempatan, memberikan potensi baru untuk perkembangan yang baik dan buruk.” (Sedarlah! 22 Mei ’02). Hal inilah yang menuntut guru harus menyejajarkan pola pikir dengan dunia (Global).
Dari kerangka di atas tidak terlelu mengada-ada apabila ada suatu ekspektasi (harapan) yang diidamkan para guru selaku mitra belajar siswa atau anak didik di sekolah baik pada pendidikan dasar maupun pendidikan menengah bahwasanya ada upaya dan alokasi pendanaan untuk memberdayakan guru (guru SD) untuk peningkatan kualitas guru dengan cara mengupayakan pendidikan Diploma II maupun Srtrata 1 (Sarjana), sentuhkan ini terasa hanya untuk guru SD. Kontribusi yang diharapkan bisa diterima guru tidak sekedar insentif yang saat ini masih dianggap kurang). Nuansa sentuhan kepad aguru di jenjang SLTP belum terasa menggigit, meskipun ada alternatif untuk peningkatan kualitas profesional guru, sebatas pelatihan dan penataran (pelatihan danpentaran ini mestinya juga rutin dan berkala, karena ilmu itu dinamis dan berkembang).
Pada saat sentralisasi, patut dicatat adanya program penyetaraan untuk guru lulusan. Diploma III ke program strata I (S1) dengan diupayakan dan difasilitasi oleh pemerintah ternyata hanya untuk sentra propinsi, Surabaya dan sekitarnya (saat itu pendidikan penyetaraan dikelola oleh Depag. Ada pula kesempatan untuk guru-guru berlatar belakang pendidikan bahasa asing yang dikirim ke luar negeri oleh pemerintah yang bekerja sama dengan Gothe Institut, ada pula program pendidikan yang tersirat memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan pasca sarjana guru-guru, yang tidak pernah sampai ke level sekolah di daerah (hal ini terjadi karena adanya penyakit birokrasi yang sarat dengan ‘KKN’).
Pada saat pemberlakukan otonomi sesuai dengan UU nomor 2 Tahun 1999 dan PP Nomor 25 Tahun 2000 baik keotonomian daerah dan propinsi tersurat bahwa kebijakan pemerintah ini bertujuan memberikan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah dengan tujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sehingga tidak terlalu berlebihan apabila ada kebijakan khusus untuk peningkatan kualitas guru dan terobosan-terobosan yang formatnya mengacu kepada kepentingan lokal atau kedaerahan yang bisa dianggap pengejawantahan dari point peningkatan kesejahteraan. Hal ini sudah di laksanakan meski dalam tahap permulaan (kepemimpinan Bupati Atlan). Alangkah membanggakan bila kerangka ke depan untuk tidak saja sekedar mengupayakan tetapi juga memfasilitasi guru baik di jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk meneruskan program pemerintah sentra yang lalu dengan diperluas lagi dan semakin mantap serta transparan serta mengesampingkan penyakit birokrasi. Program peningkatan kualitas guru yang dikelola pemerintah pusat yang lalu mestinya tidak terkurangi tetapi terkurangi tetapi lebih bermuatan yang lengkap, padu, dan berwawasan kepentingan lokal tetapi mempunyai daya antisipasi global, (meski kita belum bisa meraba konkritnya globalisasi).
Kepedulian Bupati Atlan dalam dunia kependidikan memang tidak perlu diragukan lagi, hal ini tercermin pula bandingan yang sangat mencolok dari alokasi dana wilayah Jawa Timur untuk kabupaten dan kota yang berjumlah 37. Pada pertumbuhan nominal anggaran pendidikan pada tahun 2000 dan 2001 yang mempunyai presentase 1200 dari tahun anggaran 1999, sangat jauh melesat dari kabupaten ataupun kota lain. Rata-rata pertumbuhan anggaran pendidikan di kabupaten dan kota antara 200 sampai dengan 800 persen pada tahun 2000 dan 2001. (Bank Data Jawa Pos Institute of Program – Otonomi).
Berbicara masalah kualitas guru tentu terakit erat dengan beberapa faktor dan pendukung yang lain. Kualitas akan terpenuhi bila SDM-nya yaitu ‘guru’ itu sendiri memang mau dan berkeinginan secara internal, personal dan kontinyu untuk selalu mengikuti trend dinamisasi pendidikan dan mampu mengubah (gaya) style untuk mengikuti kerangka perubahan dalam duniapendidikan, dengan tidak meninggalkan pesona pribadi seorang guru yang penuh perhatian, kepedulian, dan pengabdian kepada siswa-siswanya (karena mengajar = kasih). Selain itu, faktor finansial juga sangat mendukung, karena guru merupakan profesi yang dituntut berkualifikasi tinggi. (Sangat ironi bila guru mendapati bahwa pekerjaan yang menuntut kualifikasi yang jauh lebih rendah justru diberi gaji yang jauh lebih tinggi daripada gaji guru? Serta respek, pengakuan, dan kompensasi yang profesional tidak tercermin dari profesi ini. Nonsens, bila profesi ini hanya dituntut pengabdian)- Seperi yang dikutip bahwa – “Tidak ada profesi lain yang menuntut begitu banyak dan menerima begitu saja sedikit kompensasi finansial” (To Teach The Journal of a Teacher) – Faktor lain yang tak kalah penting adalah kenyamanan dalam forum pembelajaran yang dirasa cukup memadai untuk perkembangan zaman kini. Kita ambil contoh literatur, referensi ataupun diktat siswa harus memenuhi skala dan rasio yang cukup dan tepat. Ruang pembelajaran baik kelas, laboratorium dan isinya, ruang keterampilan, ruang seni atau mungkin perpustakaan harus mendapatkan perhatian ekstra. Karena dari ruang-ruang tersebut kemampuan siswa akan tergali dan tereskploitasi secara kontinyu dan permanen. Salah satu kenyataan real dilapangan yang sering kita temui minimnya kemampuan dan tenaga, kemampuan serta alokasi dana (dana eksperimen-dana penelitian) yang bisa menunjang siswa dan guru untuk bereksperimen dan melakukan penelitian khususnya dilaboratorium. Sehingga sudah menjadi rahasia umum bila siswa kita merasa phobia bila dihadapkan model pembelajaran eksperimen (apalagi yang bisa menelorkan inovasi). Berpangkal dari sini, lebih baik sedini mungkin siswa melakukan kegiatan eksperimen sehingga ada nilai lebih dalam pembelajaran, tidak hanya sekedar teori, tetapi langsung praktik yang bisa menghasilkan bentuk yang paling sederhana yaitu teknologi tepat guna. Hal ini tak akan terkesan muluk, kalau kita menyadari dan perlu memperbaikinya, model pembelajaran saat ini. Penyertaan sarana dan prasarana yang terkait dengan seni dan keterampilan juga sedini mungkin digali dan dilestarikan agar bisa menambah wawasan dan bentuk seni dan keterampilan khas lokal atau daerah yang bisa mengembangkan mutu sebagai pelengkap dan penunjang pada aspek kepariwisataan. Digali serta diekplorasi agar terdesain dan dimodifikasi seni lokal ataupun keterampilan lokal. Seni dan keterampilan bila tergarap serius dan koninyu akan menghasilkan daya jual daerah (sejalan dengan visi kabupaten). Faktor jalur pembinaan profesi juga merupakan hal yang perlu ada dan ditingkatkan, karena guru tidak hanya sekedar profesi tanpa nuansa profesionalisme. Hal ini muncul dengan banyaknya tantangan-tantangan yang harus dihadapi guru semisal lingkungan yang sekarang ini cenderung anarkhis, kaidah norma usia sekolah – promiskuitas seksual adalah suatu kenyataan di kalangan remaja, sehingga banyak siswi yang masih sangat muda menjadi hamil, dampaknya dari chating dan melihat situs porno di internet). Profesionalisme guru bisa mapan dan mantap bila secara periodik, terpadu dan terukur dengan standart dan transparan untuk memberikan pembekalan, pengujian, pengukuran sehingga ada keterpaduan dari segi fisik (kesehatan dan umur), Intelegence Quontient (IQ) kualitas skill, serta phisikologis (mental dan EQ), sehingga figur dan performa seorang guru mampu menjadi mitra belajar yang tepat.
Secara tersirat bisa kita rekam bahwa bidikan kebijakan pemerintah kabupaten Bojonegoro terfokus pada Pangan, Pariwisata, Prasarana Pendidikan dan Kesehatan serta Pengentasan Kemiskinan (yang lebih dikenal P4 1K dan taskin) memang cukup urgen. Bila kita ambil benang merah dari uraian di atas dengan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan yang telah dicapai saat ini bukanlah seperti membalikkan tangan saja, tetapi membutuhkan proses. Meski demikian, apa yang telah digarap oleh pemkab belumlah cukup melegakan dan membanggakan bila semua pihak dan unsur yang ada (dinas, lembaga, organisasi, swasta, publik) turut mendukung dan berperan aktif sehingga utnuk memformat ekspektasi menjadi realita Bojonegoro Mandiri sesuai visi yang teremban (tidak hanya keberhasilan yang signifikan di bidang pendidikan) tetapi juga di bidang garapan yang lain.
Latar belakang yang berupa tantangan yang dihadapi pada saat ini cukup mampu membuat kita harus bekerja ektra. Oleh sebab itu, patutlah kiranya bila ekspektasi di atas bisa diterima dan direalisasikan oleh pembuat kebijakan baik di lingkup pemerintahan kabupaten/kota maupun pemerintah pusat. Tidak hanya sekedar sebuah obsesi belaka. Dan patutu kita catat dan kita patri dalam bingkai ingatan publik bahwa dukungan dari semua u nsur atau komponen kerjasama (kolaborasi) mampu mewujudkan suatu ekspektasi (harapan), tentu saja faktor kepemimpinan juga berperan sangat besar.
Membangun Bojonegoro mandiri tidak sekedar aakn tercapai dalam kurun waktu tertentu tetapi membutuhkan waktu untuk berproses. Kerangka yang matang, serta dukungan untuk visi dan misi yang sudah dicanangkan. Mestinya bisa konsisten dan eksis untuk mendukung program serta kebijakan pemkab, dan menjadikannya suatu bentuk yang permanen, dan menjadikannya suatu bentuk yang permanen sehingga akan terwujud karya nyata yang bisa kita gunakan untuk eksistensi ke depannya, tanpa berupaya untuk saling mengacungkan keunggulan, karena dalam berproses suatu bentuk untuk menuju cita-cita itu memerlukan semua dukungan tenaga, pikiran dari semua unsur dan komponen yang ada dalam lingkup kedaerahan yang tidak meninggalkan unsur nasionalisme.


~ _pernah dimuat di JP  -opini-dengan perubahan, by .Sri Apriwatie,

Lagi, Tentang Profesionalisme Guru di Era Otoda




Mencermati opini yang cemerlang dari saudara Lulvatul Fuadiyah tentang profesioalisme guru di era otonomi (Radar, 11 April 2001) yang menggulirkan ide dibentuknya suatu institusi yang memayungi dunia pendidikan di era otonomi saat ini yaitu Komite Reformasi Pendidikan Daerah (KRPD) sangatlah bagus.
Dari uraian saudara Lulvatul Fuadiyah (selanjutnya disebut DF) mengajak kita berfikir untuk lebih bersemangat mengantusiaskan segala tindak nyata keinginan kita untuk memajukan dunia pendidikan khususnya profesionalisme.
Kita perlu mencermati pula bahwa kalau melihat kondisi saat ini sepantasnya kita menghargai pendapat saudara Agus Mujahidin dalam kolom opini di Radar, 2 April 2001 yang mengetengahkan pendapat bahwa di masa transisi (dari sentralistik ke aesentralistik yang masih terlihat belum stabil dan mulus di semual lini), ini antara lain membutuhkan pemimpin yang mampu menerapkan gaya kepemimpinan transformasional, mendorong profesional guru dengan ajaran / instruksi (meningkatkan kesadaran, kepedulian terhadap tugas guru, menumbuhkan minat, semangat, rasa mampu / berdaya, menumbuhkan rasa malu bila tak mampu bekerja dengan lebih baik, berkompetensi / kewenangan memutuskan) selain itu juga action research.
Tujuan negara salah satunya yaitu mencerdaskan bangsa oleh sebab itu pantaslah bahwa guru dituntut profesional sesuai jaman yang semakin mengglobal.
Sebelum melangkah ke ide dibentuknya institusi untuk wadah reformasi pendidikan di era otonomi, alangkah lebih baik bila kita mengingat dulu bahwa suatu kebijakan bisa berskala nasional, berskala daerah, berskala kecil yaitu kebijakan di unit kerja pada lembaga masing-masing.
Marilah kita mencermati secara sekilas bila disuatu unit kerja, guru dioptimalkan untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendidik, pengajar, pelatih. Guru dioptimalkan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang multifungsi sebagai manager, pengambil keputusan, pelaksanaan keputusan, pengguna ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), pengembang materi pengajaran, pelaksana pengjaran, sebagai model bagi peserta didiknya.
Pengoptimalan guru yang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang multifungsi tersebut jelas memerlukan pemimpin yang bergaya kepemimpinan transformasional karena saat seperti ini situasi yang dapat berubah baik sifat, keadaan, bentuknya . Pemimpin tersebut dituntut agar mampu menyesuaikan perubahan situasi (saat ini di dunia pendidikpun cenderung muncul konflik) sehingga terbentuk profesionalisme guru.
Bila kita menoleh tugas pokok guru, tercermin keadaan pesimis untuk meningkatkan profesionalisme guru (uraian opini saudara LF). Diuraian tersebut juga diketengahkan solusinya bahwasanya, guru mengajar di kelas untuk tatap muka maksumak delapan belas jam per minggu, ada dana stimulan dan kegiatan action research.
Action research (AR) dari namanya jelas paduan tindakan dan penelitian. Hal ini tepat untuk mendorong profesinalisme guru. Tuntutan guru dapat berfungsi sebagai peneli itu relevan karena tugasnya menghadap berbagai masalah. Dalam AR akan memerlukan bantuan dan kerjasama dari pihak lain. Kegiatan ini bersifat empiris karena berkaitan dengan data hasil observasi dan perilaku (jelas hal ini membutuhkan tenaga, waktu, obyek, spesifik). Kegiatan ini bisa berjalan bila ada komitmen untuk mencapai misi dan visi (dari lingkup yang kecil dulu).
Bila dibandingkan antara action research dan applied research (penelitian terapan), mungkin inilah yang memerlukan dana karena mencakup berbagai variabel, menurut teknik samplin tertentu dan dapat dilaksanakan secara masal (terdiri banyak kasus). Andai AR pun membutuhkan dana stimulan (atau insentif?) pemimpin yang bergaya transformal bisa mengkoordinirnya.
Alangkah nyaman lagi bila tugas pokok guru yang berkaitan penyusunan program (AMP, PSP, RP, Kisi-kisi soal) sudah tersedia dalam satu paket siap pakai, (hal ini bisa disiapkan atau dikelola oleh unit kerja masing-masing atau dindik lembaga/daerah), sehingga tinggal menyajikan kegiatan pembelajaran kegiatan penilaian, kegiatan analisis penilaian, kegiatan pengayaan dan perbaikan. Guru bisa mengerjakan pada secara efektif dan efisien tambahan tugas selain tugas pokok semisal guru, sebagai wakil kepala sekolah, guru urusan, guru wali, guru laporan, guru perpustakaan.
Berbicara kebijakan sekolah yang memerlukan pengawasan, jelas harus didudukan pada formasinya. Sampai saat ini yang kita ketahui dan jalani adalah pengawasan internal lembaga yang berwenang sesuai dengan hirarki dan rasionalnya, pengawasan eksternal ada yang instruksi dari wakil-wakil orang tua siswa dan mungkin dari tokoh-tokoh masyarakt, hanya belum terlihat gregetnya. Ini bisa diterima nalar karena memang hanya sebagai pendukung penyelenggaraan pendidikan. Bila menginginkan pengawasan eksternal (Sampai sekarang belum ada, semisal KRPD) maka alangkah baiknya institusi yang telah ada itu dioptimalkan.
Marilah sejenak kita renungkan ide pembentukan institusi yang memayungi dana pendidikan (khususnya peningkatan profesionalisme guru). Institusi ini diharapkan mampu mengakomodasi reformasi pendidikan di era otonomi (semisal komite reformasi pendidikan daerah KRPD ala LF), maka boleh-boleh saja inisiatif itu berasal dari rakyat (DPR).
Ada Empat hal yang ditawarkan dalam KPRD yaitu (1) meredesain kurikulum sesuai kondisi dan kebutuhan riil daerah (2) membuat instrumen rekrutmen tenaga kependidikan (3) membuat aturan penetapan jabatan pimpinan lembaha pendidikan republik secara tranparasi dengan nuansa kompetitif positif (4) pengawasan. Empat hal ini bisa kita hubungkan dengan keadaan saat ini, maka bisa diambil benang merah antara suatu tujuan dengan pemutus kebijakan. Semisal meredesain kurikulum. Hal ini menjadi kebijakan skala nasional dan skala daerah. Membuat rekruitmen tenaga kependidikan bisa dikatagorikan kebijakan skala daerah.
Permasalahannya institusi itu diperlukan atau tidak ? Mestinya senyampang otonomi baru dalam tahap awal perlaksanaan, alangkah tepatnya bila pembuat kebijakan daerah harus mampu mengkomodasikannya, dan berani melangkah membuat keputusan yang berskala daerah untuk peningkatan suatu pendidikan daerah, mampu memformat misi dan visi kependidikan yang berwawasan kedaerahan dalam bingkai pendidikan nasional


~_pernah dimuat di JP April 2001-opini-dengan perubahan, by .Sri Apriwatie,

Multiple Intelegence

MULTIPLE INTELLIGENCES RANAH GALIAN KURIKULUM KOMPETENSI


Dunia pendidikan khususnya dan kehidupan global umumnya pada dekade tahun kemarin mempunyai satu pandangan mengenai kecerdasan. Kecerdasan selalu diidentikkan dengan interligence quality (IQ), sebagai satu-satunya patokan untuk menuju kesukseskan. Pemilik IQ di atas 120 selalu berpandangan bahwa kesuksesan sudah ada di genggaman tangan, sebaliknya pemilik IQ di bawah 80 akan merasakan masa depan suran dan tidak menggairahkan lagi.
Belakangan ini, pandangan seperti uraian di atas sedikit demi sedikit terhapus. Realitas yang berkembang membuktikan bahwa kecerdasan tidak selalu identik dengan IQ. Hal ini terbukti dari penelitian Daniel Goleman, kecerdasan tidak selalu identik dengan IQ, tetapi kecerdasan perasaanlah yang justru lebih berperan sangat besar dan dominan dalam membangun kesuksesan seseorang.
Menurut Goleman, orang yang mampu mengendalikan emosi pribadi, memiliki rasa empati yang kuat, suka bekerja sama, serta senang menerima input dari siapapun daripada orang yang memiliki kecerdasan tinggi, tetapi perasaan atau emosinya tidak bisa berjalan. Selain itu, emotional quality (EQ) merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Dan, jika bagian-bagian-bagian otak untuk merasa telah rusak, kita tidak dapat lagi berpikir dengan efektif.
Ada dua ilmuwan, lan Marshall dan Danah Zohar, yang meneliti kecerdasan yang lain. Menurut kedua ilmuwan suami istri tersebut, ada satu kecenderungan kecerdasan, yaitu spiritual Quality (SQ). SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah atau persoalan makna dan nilai. Selain itu, SQ merupakan kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup k ita dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan ini untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Dengan pengertian lain, SQ merupakan kecerdasan jiwa yang melahirkan tingkat kesadaran diri yang tinggi, disertai kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan suatu bentu penderitaan.
Selain teori-teori kecerdasan diatas, masih terdapat suatu teori yang mengulas tentang multi kecerdasan yang dikenal dengan nama multiple intelligences (MI). MI digagas oleh Howard Gardner, seorang profesor dari Harvard University. Menurut pendapat Gardner, manusia memiliki sejumlah keterampilan untuk menyelesaikan berbagai jenis masalah yang berbeda. Definisi kecerdasan, menurut Gardner, adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam suatu latar belakang budaya atau lebih. Dengan kata lain, kecerdasan dapat bervariasi menurut konteksnya.
Berkaca dari pandangan tersebut, secara tersirat, masalah bisa berupa apa saja dan berbagai macam bentuk. Bisa berupa cara menciptakan permulaan atau akhir sebuah cerita, mengantisipasi suatu cerita, mengantisipasi suatu langkah dalam permainan sepak bola, hingga memasang pedal rem di sepeda motor. Sedangkan produknya dapat berupa teori-teori keilmuan, komposisi musik, sampai kampanye politik yang sukses.
Suatu pandangan alternatif terhadap kompetensi intelektual manusia diketengahkan oleh Gradner. Secara garis besar, teorinya itu menyiratkan sebagai berikut.
Pertama, kecerdasan linguistik (bahasa), yaitu kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan kata-kata. Kompetensi ini akan menghasilkan profesi seperti penulis, penyair seperti penulis, penyair, orator, dan pelawak, contoh konkretnya, Sir Winston Churchill dan Mira W.
Kedua, kecerdasan logis matematis, yaitu kemampuan berhitung, bernalar, berpikir logis, dan sistematis. Kompetensi ini akan menelorkan keterampilan yang dikembangkan oleh diri insinyur, ilmuwan, ekonom, akuntanm detektif, dan anggota profesi hukum. Contohnya, Albert Einstein dan B.J Habibie.
Ketiga, kecerdasan visual spesial, yaitu kemampuan berpikir dengan gambar, memvisualkan hasil masa depan. Kompetensi ini akan menghasilkan profesi seperti seniman, arsitek, pemahat, pelaut, fotografer, dan perencana strategi. Contohnya, Pablo Picasso dan Basuki Abdullah.
Keempat, kecerdasan musikal, yaitu kemampuan mengubah atau menciptakan lagu atau musik, bernyanyi dengan baik, memahami atau mengapresiasi musik, serta mejaga ritme. Kompetensi ini akan menghasilkan profesi seperti musisi, komposer, dan perekayasa rekaman. Contohnya, Bethoven, Melly Goeslow dan Dhani Dewa.
Kelima, kecerdasan kinestetik-tubuh, yaitu kemampuan menggunakan tubuh secara terampil untuk menyelesaikan masalah, menciptakan produk, atau mengemukakan gagasan dan emosi. Kompetensi ini jelas terlihat pada kemampuan individu untuk mengejar prestasi atletik, seni tari, dan akting atau dalam seni bidang bangunan dan konstruksi. Contohnya, Charlie Chaplin, Ir. Ciputra, atau Didik Nini Towok.
Keenam, kecerdasan interpersonal (sosial), yaitu kemampuan bekerja secara efektif dengan orang lain, berhubungan dengan orang lain, serta memperlihatkan empati dan pengertian, memperhatikan motibasi dan tujuan mereka. Kompetensi ini akan ditunjukkan dan biasanya dimiliki oleh guru yang baik, fasilitatopr, politisi, pemuka agama dan waralaba. Contohnya, Gandhi.
Ketujuh, kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan menganalisis dan merenungkan diri, merenung dalam kesunyian dan menilai prestasi seseorang, meninjau perilaku seseorang beserta perasaan-perasaan terdalamnya, membuat rencana dan menyusun tujuan yang hendak dicapai, serta mengenal benar diri sendiri. Kompetensi ini biasanya dimiliki oleh filosof, penyuluh, dan pembimbing. Contohnya Plato dan Socrates.
Kedelapan, kecerdasan naturalis, yaitu kemampuan mengenal flora dan fauna, melakukan pemilihan-pemilihan runtut dalam dunia kealaman, dan menggunakan kemampuan ini secara produktif, misalnya untuk berburu, bertani, atau melakukan peneliti biologi. Contohnya, Charles Darwin.
Bila dikaitkan dengan kompetensi yang dikembangkan saat ini melalui kurikulum berbasis kompetensi – masih dalam taraf pengkajian dan uji coba – terlihat, ada target yang ingin dicapai pada kompetensi tamatan. Yakni, keberagamaan kecerdasan tidak hanya sekedar IQ saja.
Berbicara kompetensi, sebenarnya kita secara tidak sadar selama ini tidak berupaya mengeksplorasi sehingga daya jual yang sebenarnya kita miliki seperti karam di dalam diri pribadi kita. Kita merasa sudah nyaman dengan keadaan yang sudah ada tanpa berusaha menggali potensi yang lain. Dengan kata lain, kita hanya mengedepankan IQ.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ketika keadaan sudah mengglobal seperti sekarang, maka adanya perubahan mendasar dalam kurikulum pendidikan saat ini patut disambut gembira. Pada Agustus 2010, diterbitkan dokumen kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini diujicobakan di Jawa Timur pula (Sidoarjo), yang tentu saja masih perlu penyumpurnakan.
Secara tersirat, kompetensi ini dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentukan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan. Selain itu, kompetensi ini juga ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsa. Tentunya, mereka dibekali dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas sosial, serta membudayakan dan mewujudkan karakter nasional.
Kurikulum ini mengacu empat pilar pendidikan universal, yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi diri sendiri, dan belajar hidup dalam kebersamaan.
Dari uraian di atasm ternyata kecerdasan itu mempunyai variasi yang banyak, tidak mengacu pada satu kecerdasan saja. Karena itu, sedini mungkin kita harus meneliti kemampuan dasar yang kita miliki sehingga kita harus meneliti kemampuan dasar yang kita miliki sehingga kita bisa memupuknya dan mengembangkan menjadi jati diri. Senyampang masih ada waktu yang kita miliki. Sebab kesuksesan tidak bisa diraih hanya dengan satu kali kerja, tetapi membutuhkan proses. Action plan yang bagaimana yang harus kita kerjakan agar kita bisa mewujudkan jati diri dan kesuksesan kita? Bisakah kita melaksanakannya sendiri atau kita mesti melibatkan orang lain? Yang pasti, perubahan harus kita lakukan untuk mengantisipasi berlakunya kurikulum kompetensi.


~ _pernah dimuat di JP thn 2004-opini-dengan perubahan, by .Sri Apriwatie,

Menyamakan visi dari berbagai individu dengan talenta ,pengetahuan yang berbeda ~

Menyamakan visi dari berbagai individu dengan talenta ,pengetahuan yang berbeda ~
Belajar adalah proses~

Share

Ketahuilah, api itu panas, apalagi menceburkan diri akan terbakar kita di dalamnya. Semakin dalam semakin panas dan bahkan semakin bergolak. Karenanya jagalah dirimu jangan sampai mendekat pada api tersebut. Bentengilah diri kamu dengan iman dan taqwa.

Opinion ~_~

Simpel

Populer

Aktual

Edukasi

Prediksi soal UN_

Belajar akting?

Belajar akting?

Seni Tradisi

Seni Tradisi

Belajar Akting?

Belajar Akting?
Lgi pamitan, eee ngasih selendang putih..